Friday, May 22, 2009

...

Tanganku sudah sedia menuntun tinta meruntun barisan huruf. Berputar-putar mengisi penuh otakku. Tapi dari mana pula bisa memulai kapital jika kucoba menangkap satu huruf ia berlari menghindar bersembunyi di balik koma, jeda, lalu titik. Sementara satu judul sudah mengetuk keras-keras ujung pena. Otakku semakin penuh membengkak, luber! Aarrgh! Sebagian isinya keburu tumpah dan berpadu dengan para cemooh, maki, dan puji sebelum aku mengingat satu demi satu daripada mereka. Dan bukan itu yang hendak kubeberkan; bukan cemooh, maki, dan puji. Cuma beberapa jumput kalimat yang akan mengatakan...

Bahwa kemarin sang cupid memasangkan sayap di kedua belikatku dan sekarang sang cupid pula yang mematahkannya ketika sudah meninggi aku terbang

Bahwa kemarin sekuntum mawar mekar di kebun kecilku tapi sekarang luluh mahkotanya layu oleh terik

Dan bahwa kemarin ibu mengatakan mencintai bapak tapi barusan ibu bilang ingin membunuhnya!

Juga bahwa kemarin hujan yang menghapus kemarau sekarang malah membanjiri merusak ladangku

Bahwa tamu yang kemarin datang mengetuk pintu kamarku dengan mimik saleh diam-diam menaruh racun di makananku

Lalu kira-kira siapa dan apa yang akan bertamu besok?

Kemudian dirasa otakku melompong! Mungkin huruf-hurufnya sudah berloncatan keluar
Barusan ya?
(lalu tiba-tiba sebuah judul meluncur cepat dari ujung pen)
"Ironis"

Bandung, 24 Februari 2003

Tahun Baru

Rasaku tunas yang baru saja menetas bumi
Ujungnya menari-nari menyambut mataharimu
Lainnya meliuk syahdu dikecup mutiara-mutiara
Fajar baru telah membawa yang baru pula
Dengan rasa lama, sempat diingkar
Aku menafikannya dulu!

Dan ketika raya mempersembahkan lain awal
Tunas itu tumbuh dengan cepat
Tariannya mengalahkan musim dan waktu
Tak dibatas dua kuasa langit
Dan mutiara-mutiara yang menyingsing
Menggeliat begitu lama; liukan makin merona!

Lantas tinggal menunggu
Bungaku diharumimu
Biarkan mahkotanya luruh satu persatu
Di genggam tanganmu...

Bandung, 12 Januari 2003

Untuknya

Sudah ditinggalkan jejak untuknya
Di atas tanah liat yang mengeras
Susah payah ku injak-injak bumi
Demi menuntunnya ke dekat telaga di pinggiran hutan
Dan aku termangu sekian rembulan penuh
"kapan pula sang tresna menjemputku?"

Sementara angin lalu bawa berita
Dia pergi mengikuti jejak lain
Sepatu emas di tanah merah
Menuju istana di tengah-tengah surgawi alam

Ah
Dan akankah tetap aku menunggunya di sini?
Digumuli waktu
Sedang ia menerbangkan khayalnya ke langit tinggi

Bandung, 23 Desember 2002

Cukup untuk Pucuk-Pucuk Daun

Hanya kepada pucuk-pucuk daun aku bercerita
Tentang gelombang yang pasang surut di sukmaku
Dan semilir angin yang ikut mendengar cuma membisu
Kepada siapa lagi ia mampu bercerita?
Selain kepada debu yang dibawa-bawanya ke sana ke mari
Dan debu itu mati

Hanya kepada pucuk-pucuk daun saja aku bicara
Tentang gemuruh yang bahana di negeri langitku
Jika toh angin tahu lagi
Dia tak keburu bercerita pada yang lain
Ia terjatuh menangis terisak-isak
Terlalu pedih katanya!

Dan hanya kepada pucuk-pucuk daun aku buka mulut
Tentang hujan yang membaur kerontang di bumi relungku
Saat angin tahu nanti, ia memilih pura-pura tidak tahu
Sebab penuh kelumit katany!

Bandung, 28 November 2002

Antologi Di Oktober 2002

Patah Hati

Bintangku redup!
Bulannya hangus
Pohonku kehilangan kekasih sejati
- belahan jiwa -
Sudah ditelan bumi!
Sudah dipendar langit!
Tinggal menunggu fajar mengetuk cakrawala
Membawakan pohon kekasih baru
Sebab yang lama bersemayam di balik pencakar langit

Bandung, 30 Oktober 2002


Dirindu

Bayangku
Dijilat-jilat bulan separuh
Kutahan melekat
Ke mana jua aku berhinggap
Kusuruh bulan
Terus-menerus menari di sana
Karena aku masih rindu kepada diri lainku
Kita sudah lama dipisah - direnggang kala
Bulan, tonggaklah dulu!
Tetap jilati diri lainku
Biar kita terus berdekapan

Bandung, 16 Oktober 2002


Untitled

Dibawa ke mana ceritaku pergi nanti?
(jika tiba sudah waktuku)
Ikutkah ke benaman lahat
Atau diterbangkan suara cucuku ke cucunya lagi?

Bandung, 7 Oktober 2002

Antologi Di September 2002

Sisihan Rasa

Aku diam
Kejoraku dicabik-cabik gemawan
Padahal ia baru saja bertonggak di awal malam
Sedang mulut disumpal emu
Tidak bisa memanggil meneriak
Cuma meratap berlinang cemburu
Semoga esok kejoraku datang kembali

Bandung, 10 September 2002


Awal Baru

Apakah itu yang berganti rupa?
Mungkinkah awan pekat lalu telah beranjak jauh
Dan awan-awan baru nan putih bersemi di sana?

Jugakah dedaunan tua yang diganti pucuk-pucuk muda
Dan wangi kesturi yang baru saja dibawa angin?

Warna bumi nuansa biru
Ke mana kelabu pergi?

Enyahkah bersama angin yang pergi itu?
Atau turut tenggelam dalam tanah dengan daun-daun jatuh?
Atau mungkin terhembus angin tawar ke rimbanya?

Oh!
Ternyata ada tamu baru menyapa di taman melati

Bandung, 7 September 2002

Wednesday, May 20, 2009

Antologi Di Agustus 2002

Tentang Bintang

Apa yang kau lihat ketika seluruh matamu berbinar-binar?
Ketika lampu-lampu kota memecah gulita
Dan yang temaram bersembunyi dalam dusun rumah

Orang-orang berseliweran
Atau mereka merenungi gerak api lampu badai?

Atau barangkali engkau bersembunyi di balik pekat
Menutup diri dan berpikir:
"Mataku, mataku
Tertutup terbuka tetap milikku
Mataku, mataku
Peduli masa bodoh tetap punyaku"

Apa yang kau lihat
Ketika aku lihat kau dari balik jendela kamar?

Mesjid al-Furqon UPI Bandung, 18 Agustus 2002


Dua Rasa

Angin meniup sandera jiwa
Kembali diri dilekang lampau
Rupanya dunia hendak mengajakku
Kepada rentetan cerita

Kalau dulu jalan beronak memakuku di atasnya
Di sebelahnya padang rumput
Menyanyikan senandung bunga liar untukku

Silih berganti waktu memainkan cita di antaranya

Angin meniup lagi lepaskan jiwa
Kembali diri di sini berpijak termangu
Melihat ke belakang
Kenapa masih kudapati bekas luka di kaki
Sementara nyanyian di padang rumput aku sudah lupa?

Masjid al-Furqon UPI Bandung, 18 Agustus 2002


Yang Dahulu

Masa lalu mendekap aku terlalu erat
Seperti bumi memeluk jasad-jasad mati
Mengikat pohon raksasa dengan janji akar

Ia datang menyapa di tiap waktu
Dan tiap waktu itu tak pernah aku tunggu
Tidak pernah pula aku harap
Malah ku ingin ia pergi saja
Seperti daun kering yang gugur satu per satu dari penjaganya
Cepatlah jatuh!
Cepatlah jatuh!
Seiring kudoakan musim gugur hadir selalu
Dan akan pergi setelah sekian lama

Terkadang ia membutakan mata
Seolah matahari terbit dan terbenam tidak menyimpan elok
Hanya kewajaran alam yang tidak perlu dipikirkan
Terkadang pula ia menyumpal kupingku
Solah burung berkicau bukan untuk disenandungkan
Melainkan irama datar lewat begitu saja bersama angin tanpa meninggalkan makna

Terkadang juga ia membungkam mulutku
Seolah melarangku berteriak lepas
Sebab dada sudah sesak dengan rupa-rupa makian

Masa lalu mendekap aku terlalu erat
Seperti bumi memeluk jasad-jasad mati
Seperti pantai yang tak pernah ketinggalan laut

Karawang, 4 Agustus 2002

Antologi Di Juli 2002

Pain in Frame

Jiwa retas digemuruh laku rayu
Dahulu membuai kalbu
Tapi sesaat itu cuma tipu daya

Berpecah-pecah
Berpuing-puing
Manakah yang mampu mengutuhkannya kembali?

Debu-debu sudah berlarian bersama angin
Sebagian hilang terbawa injakan kala
Makin jauh dan jauh lagi
Telaga mimpi berlari-lari menghindar

Karawang, 26 Juli 2002


Sang Waktu

Dan waktu berlari
Menggetarkan daun rontok dari tangkainya
Melingkari bunga-bunga bermekaran
Menciptakan jerami dari rumput-rumput hijau

Ia pun menggiring malam tinggalkan siang
Merubah segala yang disapanya
Putih jadi hitam - hitam mengelabu

Waktu berdiri tegak
Mengantar musim ke musim
Maka angin dan aroma bersilih ganti

Bisakah ia seutuhnya menyirna pedih yang tersembunyi di balik kelambu kelam-pekat?

Karawang, 25 Juli 2009

Antologi Di Juni 2002

Balada Malam

Tujuh purnama sudah bergelut dengan awan
Berebut tempat dan warna

Angin berbisik:
"Sudah hilangkah itu durja?"

Lalang melambai laun menjawab:
"Nampaknya ia masih saja bersemayam dalam hati sang putri"

Awan kelelahan dan membiarkan bulan ke tujuh (semenjak bangkit dari kejatuhan) bergemilang cahaya (namun enggan awan mengalah pada bintang)

Angin membisik lagi:
"Sekarang bagaimana?"

Dan lalang kembali membalas tanya:
"Masih saja begitu"

Malam terheran-heran:
"Bulan tidak bawa senang, tidak pula hapus duka
Lalu ia itu apanya?"

Waktu menyahut:
"Temani sang putri sesenggukan dalam mimpi"

Gg. Nuri-Bandung, 26 Juni 2002


Sewaktu On My Own

Jangan ini diri dibiar sendiri
Tekuri dendam yang dulu waktu beri
Peri membawa perih, nyeri amat!

Manakah badai topan?
Hempas! Hempas aku!
Dan pendar segala lamunan
Kumohon!
Buat sunyi ini jadi bising

Gg. Nuri-Bandung, 20 Juni 2002


Invitation

Bulan, mari mampir ke kamarku!
'Lah lama tiada kita bersenda
Aku kangen
Begitu pula kah dikau, Bulan?

Atau bawakan saja aku nocturno
Biarkan ia mengetuk jendela
Dengan ia aku menemuimu

Lama aku tidak menyapa bintang
Lama pula aku tidak bersajak
Kubuat lari-larik elok
Itu dikau, Sayang!

Ayo!
Kita habiskan ini malam
Bersama-sama

Gg. Nuri-Bandung, 20 Juni 2002

Antologi Di Mei 2002

Bulan Hilang Cayanya

Bulang hilang cayanya diambil kolam di tama
Dihempas gumpalan awan menari-nari
Kau lihatkah itu pedih gelapnya?
Menangis mengadu cuma pada ujung ilalang
Bertanya-tanya:
Ke mana gemilangku pergi?

Karawang, 25 Mei 2002


Bulan Sabit

Antara celah lambai daun
Bisa aku lihat kau, Sayang!
Mengajakku mengayun malam
Diundang juga bintang-bintangmu itu kan?
Biar ramai jadinya
Kita goyang genta di pekuburan sepi
Kita loncengi rumah-rumah lengang
Ayo, Sayang!
Hibur sunyi dikerubung durja
Sebelum ia merebut tempatmu berada

Karawang, 20 Mei 2002


Hidup Itu Seperti Petikan Bunga Mawar, Nak!

Hidup itu seperti petikan bunga mawar, Nak! Kita cuma bisa mengendusnya beberapa jenak dan mahkotanya rekah cuma sekian kala. Lantaran mawar itu mengering busuk tiap helainya dirapuh waktu dimakan balik oleh bumi. Maka jangan harapi ia kekal. Jangan pula digenggam terlalu; kau akan kesakitan, Nak!

Karawang, 15 Mei 2002


Wejangan
:adik-adik tersayang

Mari, Kasih!
Dengar aku punya kata

Kita susut peluh bunda
Dengan kain abdi kita
Jangan segan! Mari kita menunduk hormat
Di lututnya
Mencurah kasih buatnya

Jangan lupa buatkan papa
Segelas teh manis pagi-pagi
Sebelum matahari menjemputnya bernafkah
Pun jika sudah waktunya rehat
Sediakan koran pagi dan secangkir besar susu
Juga roti selai atau telur mata sapi

Sebab kalian telah berakal baligh
Sedang nanti aku pergi kembara:
Mencari baru dunia
Persembahan kepada tercinta bunda dan papa

Hati-hati, Kasih!
Kalau melangkah keluar rumah
Bawa pedoman Qur'an dan hadis
Di dada kalian
Biar tak sesat jadinya
Dan pulang membawa rahmat

Karawang, 4 Mei 2002


Pengap

Nafas ini rasa sesak
Telusur-telusuri celah rongga
Seperti dahaga pada mati:
Di mana ruang aku hidup?

Karawang, 3 Mei 2002

Tuesday, May 19, 2009

Antologi di April 2002

Silhouette

Hai, Jagat Raya!
Dikemanakan tembang yang selalu melagu setiap senja dan malam itu?
Di mana ia bersama murai atau pipit melantun tari-tarian di antara angin
Lalu ditiupkan ke atap rumah yang selalu bisu
Mengetuk-ngetuk pintu
Menghantarkan tarian senyum buat empunya rumah
(dan wajah muram itu berseri-seri kegirangan jadinya)

Wahai, Siapa lagi bisa ditanya?
Tentang tembang yang tiba-tiba lenyap
Tentang kekasih alam menghilang
Tidak tinggalkan bekas
Bikin rindu bukan kepalang!

Karawang, 23 April 2002


Pia Sayang
: Pia

Pia sayang
Bayang belukar itu tidak seperti kelihatannya
Seperti dicucuk jarum
Melukai serangga-serangga
Yang berteduh di bawahnya

Pia sayang
Pelangi sehabis hujan tidak cuma merah hijau kuning
Ada warna-warna lain terselip di antaranya
Dan kedua ujungnya
Tidak menginjak bumi sama sekali

Pia sayang
Mawar merah atau pun putih sama saja
Pada tangkainya berjejal duri-duri kecil
Menghunus kulit memberi rajam
Menyayat tangan-tangan halus

Pia sayang
Gurun pasir nan tandus itu penuh muslihat
Lantaran ia senang menipu mata
Yang sedang lengah

Karawang, 17 April 2002


Rontok

Daun rontok digulir waktu
Dilambai bumi
Kuburkan bekas langkah
Tapak-tapak beribu balada
Dekap bumi!

Karawang, 15 April 2002


Rindu

Ada apa gerangan dengan engkau, wahai Bintang?
Bikin aku merindu seteguh hati
Enyah ragu enyah segan
Tapi siapa pula yang kurindui?

Adakah tresnaku saat ini perhatikanmu
Lalu kami bertemu pandang di dianmu?
Bilakah justru ia ada di sana di antaramu?
Menatapiku dalam-dalam
(yang mana?)
Ataukah
Rindu ini bukan untuk siapa-siapa?

(dengan melihatmu saja, Bintang
bahanalah rasa itu)

Karawang, 15 April 2002


Aral

Tuhan,
Mari kita bersetuju
Matikan aku lusa
Jadi besok aku bisa bertobat dulu

Wahai malaikat,
Lekas larikan aku ke lain dunia
Di mana tiada perlu ku dihembus angin mewangi bangkai lagi
Dan tak ada setan-setan laknat mengikut bayang berjalan

Mari! Mari!
Kita mati sama-sama
Cepat! Cepat!
Lupakan aku di sini

Karawang, 11 April 2002


Aku

Tak perlu mendikte aku
Bagaimana aku seharusnya:
Mawat yang merah itu tentu segan dipoles warna lain
Sebab tak ada satu pun keburukan musti dikamuflase

Dan pada wajahku ini
Adakah kau lihat bentukan-bentukan topeng
Menutup garis-garis muka?
Ataukah mungkin kau mengira ada kelambu gelap di sana?
Namun jawabmu itu, bagiku masa bodoh!
Aku tahu ke mana arah ini pergi
Seperti lebah setelah menenggak madu nektar menjunjung sarangnya
Pun sepasang merpati akan mendekam di rumah mereka setelah berkawin ria

Jadi biarkan saja
Untuk sementara kaki melangkah bebas:
Angin pun di empat penjuru
Toh bertemu pada satu titik

Karawang, 11 April 2002


Pengasingan

Biru bukan biru di kasat mata
Tawa hadir memaksa di sungging bibir
Cemas tiada dirasa lainnya
Gundah gulana meninju ke dalam dada
Ciptakan sekat dimensi
Seorang diri dalam riungan manusia
Sulam waktu dengan jarum tanpa benang
Ke mana diri cengkrama?
Sebab mereka menjarak depa nurani
Digapai pun menjauh semu
Dan ketika jatuh tersungkur
Cuma harapi angin sedia memapah
Tak bisa pada mereka
Pandangi tajam meludah tuba

Karawang, 4 April 2002

Antologi di Maret 2002

Aku Mau!

Pada malam melagu
Mendongeng bingar Parijs van Java
Dinaung lukisan separuh bulan tak terhitung bintang
Pada manusia menyemut
Mondar-mandir sana-sini
Sekian masa sebuah rasa membiru kuasai relung
Setelah baru saja selesai mencerna kisah remaja
Seperti ini:
Aku mau! Aku mau!
Seperti dia di sana
Telah menggenggam pujaan hati di kepal tangan
Aku mau! Aku mau!
Dipeluknya
Dibenamnya dalam kekar bahunya

Maka kepadamu entah siapa
Kuharapi kurindui
Lipur dukana aku dalam suci!
Wahai pujangga wahai penyair wahai entahlah
Di luar sana di belahan bumi mana pun
Pasti akan membuketi aku bunga
Pada genggam jemari lalu bercumbu
Suatu waktu nanti dalam suci
Aku mau!

Bandung, 21 Maret 2002


Surat untuk Bulan
Tertanggal Dua Belas Bulan Tiga – Nol Dua

Bisakah sajakku kali ini sampai kepadamu akhir hari ini, Bulan?
Tak kutemui engkau di tempat kita biasa bersua
Kucari-cari barangkali sembunyi di balik dedaunan
Kuperhatikan ujung tiang menjulang
Kau tak bertengger di sana
Kucermati kolam cerminmu
Tak terkaca sedikitpun wajahmu itu
Kutengok-tengoki tiap sudut gelas jendela pada tiap sisi rumahku, di mana pula engkau hari ini, Bulan?
Harap-harap cemas semoga awan berkehendak sampaikan surat tertanggal dua belas bulan tiga padamu:
"Perhatikan aku sesaksama mungkin
Bila perlu kutelanjangi diriku
Sampai engkau lebih dari sekedar melihat dan tahu
Bagaimana rupaku di hadapmu
Lantas beritahu aku bagian mana yang mesti kusempurnakan
Sebesar apakah tambalan yang harus kulekatkan di atas sobekan-sobekan pori kulitku
Bagaimana pula kabar noda hitam dalam belangaku itu?
Bisakah kukuras kukeluarkan noda itu?
Lain daripada itu
Sejelek sehina apakah aku sehingga aku patut dipersembahi yang terburuk
Sebab kurasa aku terlalu berharga untuk demikian adanya
(Iya kan, Bulan?)
Ah, kutunggu segala jawab dan balasmu untuk surat ini
Tapi tolong cepat-cepat ya!
(Aku tak ingin mati lemas karena karena terlalu lama menunggu)"

Tertanda
Aku

Karawang, 12 Maret 2002


Elegi Sikap

Biru rasa hadir di lingkup kamar
Disekat empat sisi rapat-rapat
Entah dari dahulu atau baru saja bertamu
Entah tak terakui atau memang tak ditahui
Kecuali satu
Demi arogan lekuk wajah
Dipasang beratus topeng
Melekat pasti di muka
Menyembunyi sebenar-benar mimpi
Dikatup sekian sandiwara rekaan; Menyombong!
Sesungguhnya
Terlunglai lemah sama sekali

Karawang 9 Maret, 2002

Antologi di Februari 2002

Jelang Kemarau

Kerajaan langit
Kehabisan telaga-telaga air
Biasa ditungganglanggangkan kepada bumi
Mengecam hampir seluruh gersang:
“Hei, Kerontang! Mampuslah kau!
Tergenanglah kalian dalam kuasaku!”

Sesaat!
Tidak sampai seperempat 12 bulan
Ia menyengat menumpah bara yang sempat disembunyi
Si matahari itu membalas waktunya
Memainkan kembali peran
Tercuri awan kemarin-kemarin
Meraja bentangan langit empat penjuru
Di atas khatulistiwa
Dan tiada terluput bah mana pun juga
Kikis habis!
Nanti wajah bumi akan baru lagi:
“Semoga kembalinya aku bukan tamu bawa derita”

Karawang, 28 Februari 2002



Masih Pada Bulan yang Sama

Meski menapaki berupa-rupa jeda waktu
Melakoni ragam lakon pada tiap tajuk baru
Menggores sedikit nama sendiri di tiap tembok dimensi
(pada gang-gang sempit yang terlewati)
Meninggalkan jejak kaki di atas tanah
Menjajaki segala macam rasa baru
Mengecapnya sebentar sebagian kutelan sebagian kumuntahkan lagi

Pada kisah manapun juga
(entah itu eksotis atau bahkan tidak bermakna sekalipun
Bulan pucat pasi itu
Masih tetap bulan yang sama

Karawang, 20 Februari 2002


Fenomena

Bayu-bayu menggiring berita ke sana ke mari – seperti kemarin
Matahari meringkuk malu di balik awan cemburu – seperti biasanya saja
Air-air turun melumat bumi sebasah mungkin – selalu begitu setiap hari
Akan ada yang hilang lalu yang baru mengganti – seharusnya begitu
Seperti daun gugur esoknya berkuncup lagi kena air – wajar bukan?
Seperti perawan patah hati tak lama lagi berbunga-bunga – rata-rata pada begitu
Tapi bagaimana dengan perawan kehilangan intannya?
Yang cuma satu-satunya
Bahkan bayu-bayu itu, matahari, atau air-air sampai kapan pun tak sanggup mencipta intan baru yang sama berharganya.
Intan itu tetap hilang kapan pun semasa bergulirnya kala

Karawang, 17 Februari 2002


Yang Masih Ada

Masih ada jarum tertinggal
Di balik pembuluh kulit
Menggamit luka
Menusuk-nusuk
Dalam-dalam
Merayapi tiap sel darah
(Sial!)

Karawang, 13 Februari 2002


Halaman Pertama

Terima kasih kepada sang masa
Telah menuang ruang bagiku
Sebagai kanvas lukisan rahasia
Di mana terbiasa kugerak jari-jari
Berkuas memindah kelir warna
Kucampur dengan pukauan desah nafas
Kuikutsertakan tenggelam jiwa di dalamnya

Terima kasih kepada yang kuasa masa
Melampirkan lembar-lembar kosong
Untuk kucoret seribu abstrak karyaku
Bahasa yang milikku cuma
Kuasaku membuket tangkai demi tangkai kisah
Pada setiap jenak waktu
Semauku!

Karawang, 9 Februari 2002