Ketika akarnya sudah memagut bumi
Tanahnya retak
Dan keseluruhannya tumbang
Tapi masih sempat satu bakal
Dieram langit
Disusui hujan
Dikecup matahari
Esok, esok, dan esok
Tunasnya mengintip dunia
Lalu menjulur melihat segala
Kembali ia siap menumbuh
Lebih besar dari induknya terdahulu
(yang mati dikubur waktu - hilang nyawa)
"Satu cerita baru hendak menjahit luka"
Bandung, 25 Juni 2003
Tuesday, June 9, 2009
Antologi di Mei 2003
Hitam
I
Kalau meredup pula dian dalam apiku
Bara mana yang harus kucari terus-terus?
Tidak boleh satu titik putih hilang begitu saja
Karena membawakan sesat
Nampak tidak berujung
II
Jika aku terus dalam malam
Aku rindu siang!
III
Ah, lagi-lagi tangis!
Aku benci ketika malam terus-menerus memelukku
Tanpa melepaskan lagi
Nafasku tersengal
Lama-lama habis
Lama-lama berhenti
Lama-lama mati?
: ketuklah pintuku, Siangku
Sekarang juga
Aku menunggu
Sampai sebelum kehabisan hidup
Bengkel Lakon, 31 Mei 2003
Aku Cuma Aku
Aku rindu
Ruang waktuku ketika aku melayang-layang
Bebas rayapi tiap sudut yang aku cita
Mendengan gurau burung di angkasa
Bukan dalam sangkar di beranda rumah
Aku rindu nian
Ruang waktuku ketika aku tanpa lelah berlari-lari
Mengejar kekupu dan angin empat arah
Mengagum bunga-bunga 1001 warna di ladang taman
Bukan dalam pot kembang di beranda rumah
Sungguh aku merindu
Ruang waktuku ketika aku tertawa terbahak
Mengenai lagu jenaka di tiap-tiap gang dan jalan
Bukan yang sekedar bertamu di beranda rumah
Aku rindu
Ruangku dulu; tanpa hitam!
Waktuku dulu; tanpa batas!
Ketika aku cuma aku
Bergerak menjadi aku; bukan orang-orang yang dibenci
Melagu kidung aku; bukan milik orang-orang tak dikenal
Ah, sungguh-sungguh aku rindu!
Bengkel Lakon, 19 Mei 2003
Untitled
Jika dzikir mengejar sidrah
Dia-kah dalam hatiku atau aku di peluk-Nya?
Manakala ia tertahan di batang langit karena nafas dunia memburu nafsu, bagaimana kutiup dzikir mencapai langit Raja?
Agar Dia dalam hatiku
Eh
Atau aku di peluk-Nya?
Bandung, 18 Mei 2003
Untitled
Mungkin kau tak tahu
Atau bahkan tak mau tahu
Bahwa kubuatkan larik-larik sajak malam untukmu
Menari-nari mengerlip di langit
Setiap aku rindu
Setiap aku sunyi
Pilu
Barangkali kau hanya lihat langit siang bolong saja?
Bandung, 4 Mei 2003
I
Kalau meredup pula dian dalam apiku
Bara mana yang harus kucari terus-terus?
Tidak boleh satu titik putih hilang begitu saja
Karena membawakan sesat
Nampak tidak berujung
II
Jika aku terus dalam malam
Aku rindu siang!
III
Ah, lagi-lagi tangis!
Aku benci ketika malam terus-menerus memelukku
Tanpa melepaskan lagi
Nafasku tersengal
Lama-lama habis
Lama-lama berhenti
Lama-lama mati?
: ketuklah pintuku, Siangku
Sekarang juga
Aku menunggu
Sampai sebelum kehabisan hidup
Bengkel Lakon, 31 Mei 2003
Aku Cuma Aku
Aku rindu
Ruang waktuku ketika aku melayang-layang
Bebas rayapi tiap sudut yang aku cita
Mendengan gurau burung di angkasa
Bukan dalam sangkar di beranda rumah
Aku rindu nian
Ruang waktuku ketika aku tanpa lelah berlari-lari
Mengejar kekupu dan angin empat arah
Mengagum bunga-bunga 1001 warna di ladang taman
Bukan dalam pot kembang di beranda rumah
Sungguh aku merindu
Ruang waktuku ketika aku tertawa terbahak
Mengenai lagu jenaka di tiap-tiap gang dan jalan
Bukan yang sekedar bertamu di beranda rumah
Aku rindu
Ruangku dulu; tanpa hitam!
Waktuku dulu; tanpa batas!
Ketika aku cuma aku
Bergerak menjadi aku; bukan orang-orang yang dibenci
Melagu kidung aku; bukan milik orang-orang tak dikenal
Ah, sungguh-sungguh aku rindu!
Bengkel Lakon, 19 Mei 2003
Untitled
Jika dzikir mengejar sidrah
Dia-kah dalam hatiku atau aku di peluk-Nya?
Manakala ia tertahan di batang langit karena nafas dunia memburu nafsu, bagaimana kutiup dzikir mencapai langit Raja?
Agar Dia dalam hatiku
Eh
Atau aku di peluk-Nya?
Bandung, 18 Mei 2003
Untitled
Mungkin kau tak tahu
Atau bahkan tak mau tahu
Bahwa kubuatkan larik-larik sajak malam untukmu
Menari-nari mengerlip di langit
Setiap aku rindu
Setiap aku sunyi
Pilu
Barangkali kau hanya lihat langit siang bolong saja?
Bandung, 4 Mei 2003
Antologi di April 2003
Nyeri
Kusimpan pedihku
Dalam dunia kecilku
Dan tiada peduli seorang pun melihatnya makin puing
Begitu pun ia yang kusebut sang malaikat
Kemarin mungkin cuma pura-pura jadi penolongku
Hari ini pergi ke labuhan baru
Sementara aku makin terasing
Mereka tak mengadakanku!
Masihkah kau, Malaikat, melihatku ada?
Ketika menangis
Tertawa
Terdiam
Dan kau masih saja berpura-pura
Bandung, 26 April 2003
Bait-Bait Bunga Liar
Pada sebuah ladang dilingkung danau:
Aku ialah satu penghuni dari sekian banyak makhluk
Aku setangkai bunga liar tak bernama
Antara rerumpun ilalang
Yang saban petang dinaung satu pohon menjulang
Tinggi
Besar
Aku setangkai bunga liar
Pernah bermimpi jadi pohon besar itu
Jadi akar yang mencengkeram kuat jauh ke dalam tanah
Jadi daun yang kerap bergoyang disenandung angin
Jadi batangnya yang meninggi melebar raksasa
Jadi ranting
Jadi cabang
Tapi di usai bertapaku
Aku terjaga dan masih si setangkai bunga liar
Akarku nyata kecil memeluk tanah sedikit depa
Namun bukan sebab aku lemah
Tidak!
Aku tidak lemah!
Nikmat angin yang menggoyangku
Tidak sama dengan daun yang digoyang pula
Aku menari-nari girang
Ia bertahan keras di ujung ranting - jangan sampai luruh!
Dan tak bisa aku menjadi batang, cabang, atau ranting
Aku si kecil setangkai bunga liar tak berwarna mencolok
Namun bukan sebab aku lemah
Tidak!
Aku tidak lemah!
Karena Illahi Memahat aku sebegini rupa
Ia persembahkan padaku sebuah dunia yang bukan milik pohon
Dan dunia milik pohon bukan rimbaku
Dunia-dunia yang mewarna skenario
Biar warnanya rupa-rupa
Aku setangkai bunga liar tak bernama tak berwarna mencolok
Menari dalam goyangan angin
Bercanda bersama kupu-kupu
Saja
Aku setangkai bunga liar
Dan aku cinta aku yang begini
Karena Dia Menginginkan aku menjadi setangkai bunga liar
Bernama di hadap-Nya
Berwarna di tangan-Nya
Bandung, 21 April 2003
Kusimpan pedihku
Dalam dunia kecilku
Dan tiada peduli seorang pun melihatnya makin puing
Begitu pun ia yang kusebut sang malaikat
Kemarin mungkin cuma pura-pura jadi penolongku
Hari ini pergi ke labuhan baru
Sementara aku makin terasing
Mereka tak mengadakanku!
Masihkah kau, Malaikat, melihatku ada?
Ketika menangis
Tertawa
Terdiam
Dan kau masih saja berpura-pura
Bandung, 26 April 2003
Bait-Bait Bunga Liar
Pada sebuah ladang dilingkung danau:
Aku ialah satu penghuni dari sekian banyak makhluk
Aku setangkai bunga liar tak bernama
Antara rerumpun ilalang
Yang saban petang dinaung satu pohon menjulang
Tinggi
Besar
Aku setangkai bunga liar
Pernah bermimpi jadi pohon besar itu
Jadi akar yang mencengkeram kuat jauh ke dalam tanah
Jadi daun yang kerap bergoyang disenandung angin
Jadi batangnya yang meninggi melebar raksasa
Jadi ranting
Jadi cabang
Tapi di usai bertapaku
Aku terjaga dan masih si setangkai bunga liar
Akarku nyata kecil memeluk tanah sedikit depa
Namun bukan sebab aku lemah
Tidak!
Aku tidak lemah!
Nikmat angin yang menggoyangku
Tidak sama dengan daun yang digoyang pula
Aku menari-nari girang
Ia bertahan keras di ujung ranting - jangan sampai luruh!
Dan tak bisa aku menjadi batang, cabang, atau ranting
Aku si kecil setangkai bunga liar tak berwarna mencolok
Namun bukan sebab aku lemah
Tidak!
Aku tidak lemah!
Karena Illahi Memahat aku sebegini rupa
Ia persembahkan padaku sebuah dunia yang bukan milik pohon
Dan dunia milik pohon bukan rimbaku
Dunia-dunia yang mewarna skenario
Biar warnanya rupa-rupa
Aku setangkai bunga liar tak bernama tak berwarna mencolok
Menari dalam goyangan angin
Bercanda bersama kupu-kupu
Saja
Aku setangkai bunga liar
Dan aku cinta aku yang begini
Karena Dia Menginginkan aku menjadi setangkai bunga liar
Bernama di hadap-Nya
Berwarna di tangan-Nya
Bandung, 21 April 2003
Antologi di Maret 2003
Sepi
Malam memaksaku memandang langit yang sendiri
Marak lampu-lampu kota di ujung pandangan
Mengecohku
(kupikir mengajakku bersenda;
Rupa-rupanya mengejekku yang sunyi)
Lalu gelap melukis kabar
Akan sepi berujung tengah malam nanti
Bukan datangnya gaduh
Tapi kemudian aku tertidur
Dan masih dalam sendiri
Bandung, 8 Maret 2003
Untitled
Harummu mewangi di sudut-sudut kamarku
Kenapa kau tinggalkan sebagian dirimu di sana?
Tidak tahukah bahwa aku sudah menanam bibit mawarku di kebun miliknya
(dan sekarang kuncupnya sudah lahir)
Mana bisa diam-diam aku mencuri satu kuntumnya
Lantas ku simpan di jambangmu?
Ah
Kuharap harummu tidak berpamrih
Sungguh!
Bandung, 3 Maret 2003
Malam memaksaku memandang langit yang sendiri
Marak lampu-lampu kota di ujung pandangan
Mengecohku
(kupikir mengajakku bersenda;
Rupa-rupanya mengejekku yang sunyi)
Lalu gelap melukis kabar
Akan sepi berujung tengah malam nanti
Bukan datangnya gaduh
Tapi kemudian aku tertidur
Dan masih dalam sendiri
Bandung, 8 Maret 2003
Untitled
Harummu mewangi di sudut-sudut kamarku
Kenapa kau tinggalkan sebagian dirimu di sana?
Tidak tahukah bahwa aku sudah menanam bibit mawarku di kebun miliknya
(dan sekarang kuncupnya sudah lahir)
Mana bisa diam-diam aku mencuri satu kuntumnya
Lantas ku simpan di jambangmu?
Ah
Kuharap harummu tidak berpamrih
Sungguh!
Bandung, 3 Maret 2003
Friday, May 22, 2009
...
Tanganku sudah sedia menuntun tinta meruntun barisan huruf. Berputar-putar mengisi penuh otakku. Tapi dari mana pula bisa memulai kapital jika kucoba menangkap satu huruf ia berlari menghindar bersembunyi di balik koma, jeda, lalu titik. Sementara satu judul sudah mengetuk keras-keras ujung pena. Otakku semakin penuh membengkak, luber! Aarrgh! Sebagian isinya keburu tumpah dan berpadu dengan para cemooh, maki, dan puji sebelum aku mengingat satu demi satu daripada mereka. Dan bukan itu yang hendak kubeberkan; bukan cemooh, maki, dan puji. Cuma beberapa jumput kalimat yang akan mengatakan...
Bahwa kemarin sang cupid memasangkan sayap di kedua belikatku dan sekarang sang cupid pula yang mematahkannya ketika sudah meninggi aku terbang
Bahwa kemarin sekuntum mawar mekar di kebun kecilku tapi sekarang luluh mahkotanya layu oleh terik
Dan bahwa kemarin ibu mengatakan mencintai bapak tapi barusan ibu bilang ingin membunuhnya!
Juga bahwa kemarin hujan yang menghapus kemarau sekarang malah membanjiri merusak ladangku
Bahwa tamu yang kemarin datang mengetuk pintu kamarku dengan mimik saleh diam-diam menaruh racun di makananku
Lalu kira-kira siapa dan apa yang akan bertamu besok?
Kemudian dirasa otakku melompong! Mungkin huruf-hurufnya sudah berloncatan keluar
Barusan ya?
(lalu tiba-tiba sebuah judul meluncur cepat dari ujung pen)
"Ironis"
Bandung, 24 Februari 2003
Bahwa kemarin sang cupid memasangkan sayap di kedua belikatku dan sekarang sang cupid pula yang mematahkannya ketika sudah meninggi aku terbang
Bahwa kemarin sekuntum mawar mekar di kebun kecilku tapi sekarang luluh mahkotanya layu oleh terik
Dan bahwa kemarin ibu mengatakan mencintai bapak tapi barusan ibu bilang ingin membunuhnya!
Juga bahwa kemarin hujan yang menghapus kemarau sekarang malah membanjiri merusak ladangku
Bahwa tamu yang kemarin datang mengetuk pintu kamarku dengan mimik saleh diam-diam menaruh racun di makananku
Lalu kira-kira siapa dan apa yang akan bertamu besok?
Kemudian dirasa otakku melompong! Mungkin huruf-hurufnya sudah berloncatan keluar
Barusan ya?
(lalu tiba-tiba sebuah judul meluncur cepat dari ujung pen)
"Ironis"
Bandung, 24 Februari 2003
Tahun Baru
Rasaku tunas yang baru saja menetas bumi
Ujungnya menari-nari menyambut mataharimu
Lainnya meliuk syahdu dikecup mutiara-mutiara
Fajar baru telah membawa yang baru pula
Dengan rasa lama, sempat diingkar
Aku menafikannya dulu!
Dan ketika raya mempersembahkan lain awal
Tunas itu tumbuh dengan cepat
Tariannya mengalahkan musim dan waktu
Tak dibatas dua kuasa langit
Dan mutiara-mutiara yang menyingsing
Menggeliat begitu lama; liukan makin merona!
Lantas tinggal menunggu
Bungaku diharumimu
Biarkan mahkotanya luruh satu persatu
Di genggam tanganmu...
Bandung, 12 Januari 2003
Ujungnya menari-nari menyambut mataharimu
Lainnya meliuk syahdu dikecup mutiara-mutiara
Fajar baru telah membawa yang baru pula
Dengan rasa lama, sempat diingkar
Aku menafikannya dulu!
Dan ketika raya mempersembahkan lain awal
Tunas itu tumbuh dengan cepat
Tariannya mengalahkan musim dan waktu
Tak dibatas dua kuasa langit
Dan mutiara-mutiara yang menyingsing
Menggeliat begitu lama; liukan makin merona!
Lantas tinggal menunggu
Bungaku diharumimu
Biarkan mahkotanya luruh satu persatu
Di genggam tanganmu...
Bandung, 12 Januari 2003
Untuknya
Sudah ditinggalkan jejak untuknya
Di atas tanah liat yang mengeras
Susah payah ku injak-injak bumi
Demi menuntunnya ke dekat telaga di pinggiran hutan
Dan aku termangu sekian rembulan penuh
"kapan pula sang tresna menjemputku?"
Sementara angin lalu bawa berita
Dia pergi mengikuti jejak lain
Sepatu emas di tanah merah
Menuju istana di tengah-tengah surgawi alam
Ah
Dan akankah tetap aku menunggunya di sini?
Digumuli waktu
Sedang ia menerbangkan khayalnya ke langit tinggi
Bandung, 23 Desember 2002
Di atas tanah liat yang mengeras
Susah payah ku injak-injak bumi
Demi menuntunnya ke dekat telaga di pinggiran hutan
Dan aku termangu sekian rembulan penuh
"kapan pula sang tresna menjemputku?"
Sementara angin lalu bawa berita
Dia pergi mengikuti jejak lain
Sepatu emas di tanah merah
Menuju istana di tengah-tengah surgawi alam
Ah
Dan akankah tetap aku menunggunya di sini?
Digumuli waktu
Sedang ia menerbangkan khayalnya ke langit tinggi
Bandung, 23 Desember 2002
Cukup untuk Pucuk-Pucuk Daun
Hanya kepada pucuk-pucuk daun aku bercerita
Tentang gelombang yang pasang surut di sukmaku
Dan semilir angin yang ikut mendengar cuma membisu
Kepada siapa lagi ia mampu bercerita?
Selain kepada debu yang dibawa-bawanya ke sana ke mari
Dan debu itu mati
Hanya kepada pucuk-pucuk daun saja aku bicara
Tentang gemuruh yang bahana di negeri langitku
Jika toh angin tahu lagi
Dia tak keburu bercerita pada yang lain
Ia terjatuh menangis terisak-isak
Terlalu pedih katanya!
Dan hanya kepada pucuk-pucuk daun aku buka mulut
Tentang hujan yang membaur kerontang di bumi relungku
Saat angin tahu nanti, ia memilih pura-pura tidak tahu
Sebab penuh kelumit katany!
Bandung, 28 November 2002
Tentang gelombang yang pasang surut di sukmaku
Dan semilir angin yang ikut mendengar cuma membisu
Kepada siapa lagi ia mampu bercerita?
Selain kepada debu yang dibawa-bawanya ke sana ke mari
Dan debu itu mati
Hanya kepada pucuk-pucuk daun saja aku bicara
Tentang gemuruh yang bahana di negeri langitku
Jika toh angin tahu lagi
Dia tak keburu bercerita pada yang lain
Ia terjatuh menangis terisak-isak
Terlalu pedih katanya!
Dan hanya kepada pucuk-pucuk daun aku buka mulut
Tentang hujan yang membaur kerontang di bumi relungku
Saat angin tahu nanti, ia memilih pura-pura tidak tahu
Sebab penuh kelumit katany!
Bandung, 28 November 2002
Antologi Di Oktober 2002
Patah Hati
Bintangku redup!
Bulannya hangus
Pohonku kehilangan kekasih sejati
- belahan jiwa -
Sudah ditelan bumi!
Sudah dipendar langit!
Tinggal menunggu fajar mengetuk cakrawala
Membawakan pohon kekasih baru
Sebab yang lama bersemayam di balik pencakar langit
Bandung, 30 Oktober 2002
Dirindu
Bayangku
Dijilat-jilat bulan separuh
Kutahan melekat
Ke mana jua aku berhinggap
Kusuruh bulan
Terus-menerus menari di sana
Karena aku masih rindu kepada diri lainku
Kita sudah lama dipisah - direnggang kala
Bulan, tonggaklah dulu!
Tetap jilati diri lainku
Biar kita terus berdekapan
Bandung, 16 Oktober 2002
Untitled
Dibawa ke mana ceritaku pergi nanti?
(jika tiba sudah waktuku)
Ikutkah ke benaman lahat
Atau diterbangkan suara cucuku ke cucunya lagi?
Bandung, 7 Oktober 2002
Bintangku redup!
Bulannya hangus
Pohonku kehilangan kekasih sejati
- belahan jiwa -
Sudah ditelan bumi!
Sudah dipendar langit!
Tinggal menunggu fajar mengetuk cakrawala
Membawakan pohon kekasih baru
Sebab yang lama bersemayam di balik pencakar langit
Bandung, 30 Oktober 2002
Dirindu
Bayangku
Dijilat-jilat bulan separuh
Kutahan melekat
Ke mana jua aku berhinggap
Kusuruh bulan
Terus-menerus menari di sana
Karena aku masih rindu kepada diri lainku
Kita sudah lama dipisah - direnggang kala
Bulan, tonggaklah dulu!
Tetap jilati diri lainku
Biar kita terus berdekapan
Bandung, 16 Oktober 2002
Untitled
Dibawa ke mana ceritaku pergi nanti?
(jika tiba sudah waktuku)
Ikutkah ke benaman lahat
Atau diterbangkan suara cucuku ke cucunya lagi?
Bandung, 7 Oktober 2002
Antologi Di September 2002
Sisihan Rasa
Aku diam
Kejoraku dicabik-cabik gemawan
Padahal ia baru saja bertonggak di awal malam
Sedang mulut disumpal emu
Tidak bisa memanggil meneriak
Cuma meratap berlinang cemburu
Semoga esok kejoraku datang kembali
Bandung, 10 September 2002
Awal Baru
Apakah itu yang berganti rupa?
Mungkinkah awan pekat lalu telah beranjak jauh
Dan awan-awan baru nan putih bersemi di sana?
Jugakah dedaunan tua yang diganti pucuk-pucuk muda
Dan wangi kesturi yang baru saja dibawa angin?
Warna bumi nuansa biru
Ke mana kelabu pergi?
Enyahkah bersama angin yang pergi itu?
Atau turut tenggelam dalam tanah dengan daun-daun jatuh?
Atau mungkin terhembus angin tawar ke rimbanya?
Oh!
Ternyata ada tamu baru menyapa di taman melati
Bandung, 7 September 2002
Aku diam
Kejoraku dicabik-cabik gemawan
Padahal ia baru saja bertonggak di awal malam
Sedang mulut disumpal emu
Tidak bisa memanggil meneriak
Cuma meratap berlinang cemburu
Semoga esok kejoraku datang kembali
Bandung, 10 September 2002
Awal Baru
Apakah itu yang berganti rupa?
Mungkinkah awan pekat lalu telah beranjak jauh
Dan awan-awan baru nan putih bersemi di sana?
Jugakah dedaunan tua yang diganti pucuk-pucuk muda
Dan wangi kesturi yang baru saja dibawa angin?
Warna bumi nuansa biru
Ke mana kelabu pergi?
Enyahkah bersama angin yang pergi itu?
Atau turut tenggelam dalam tanah dengan daun-daun jatuh?
Atau mungkin terhembus angin tawar ke rimbanya?
Oh!
Ternyata ada tamu baru menyapa di taman melati
Bandung, 7 September 2002
Wednesday, May 20, 2009
Antologi Di Agustus 2002
Tentang Bintang
Apa yang kau lihat ketika seluruh matamu berbinar-binar?
Ketika lampu-lampu kota memecah gulita
Dan yang temaram bersembunyi dalam dusun rumah
Orang-orang berseliweran
Atau mereka merenungi gerak api lampu badai?
Atau barangkali engkau bersembunyi di balik pekat
Menutup diri dan berpikir:
"Mataku, mataku
Tertutup terbuka tetap milikku
Mataku, mataku
Peduli masa bodoh tetap punyaku"
Apa yang kau lihat
Ketika aku lihat kau dari balik jendela kamar?
Mesjid al-Furqon UPI Bandung, 18 Agustus 2002
Dua Rasa
Angin meniup sandera jiwa
Kembali diri dilekang lampau
Rupanya dunia hendak mengajakku
Kepada rentetan cerita
Kalau dulu jalan beronak memakuku di atasnya
Di sebelahnya padang rumput
Menyanyikan senandung bunga liar untukku
Silih berganti waktu memainkan cita di antaranya
Angin meniup lagi lepaskan jiwa
Kembali diri di sini berpijak termangu
Melihat ke belakang
Kenapa masih kudapati bekas luka di kaki
Sementara nyanyian di padang rumput aku sudah lupa?
Masjid al-Furqon UPI Bandung, 18 Agustus 2002
Yang Dahulu
Masa lalu mendekap aku terlalu erat
Seperti bumi memeluk jasad-jasad mati
Mengikat pohon raksasa dengan janji akar
Ia datang menyapa di tiap waktu
Dan tiap waktu itu tak pernah aku tunggu
Tidak pernah pula aku harap
Malah ku ingin ia pergi saja
Seperti daun kering yang gugur satu per satu dari penjaganya
Cepatlah jatuh!
Cepatlah jatuh!
Seiring kudoakan musim gugur hadir selalu
Dan akan pergi setelah sekian lama
Terkadang ia membutakan mata
Seolah matahari terbit dan terbenam tidak menyimpan elok
Hanya kewajaran alam yang tidak perlu dipikirkan
Terkadang pula ia menyumpal kupingku
Solah burung berkicau bukan untuk disenandungkan
Melainkan irama datar lewat begitu saja bersama angin tanpa meninggalkan makna
Terkadang juga ia membungkam mulutku
Seolah melarangku berteriak lepas
Sebab dada sudah sesak dengan rupa-rupa makian
Masa lalu mendekap aku terlalu erat
Seperti bumi memeluk jasad-jasad mati
Seperti pantai yang tak pernah ketinggalan laut
Karawang, 4 Agustus 2002
Apa yang kau lihat ketika seluruh matamu berbinar-binar?
Ketika lampu-lampu kota memecah gulita
Dan yang temaram bersembunyi dalam dusun rumah
Orang-orang berseliweran
Atau mereka merenungi gerak api lampu badai?
Atau barangkali engkau bersembunyi di balik pekat
Menutup diri dan berpikir:
"Mataku, mataku
Tertutup terbuka tetap milikku
Mataku, mataku
Peduli masa bodoh tetap punyaku"
Apa yang kau lihat
Ketika aku lihat kau dari balik jendela kamar?
Mesjid al-Furqon UPI Bandung, 18 Agustus 2002
Dua Rasa
Angin meniup sandera jiwa
Kembali diri dilekang lampau
Rupanya dunia hendak mengajakku
Kepada rentetan cerita
Kalau dulu jalan beronak memakuku di atasnya
Di sebelahnya padang rumput
Menyanyikan senandung bunga liar untukku
Silih berganti waktu memainkan cita di antaranya
Angin meniup lagi lepaskan jiwa
Kembali diri di sini berpijak termangu
Melihat ke belakang
Kenapa masih kudapati bekas luka di kaki
Sementara nyanyian di padang rumput aku sudah lupa?
Masjid al-Furqon UPI Bandung, 18 Agustus 2002
Yang Dahulu
Masa lalu mendekap aku terlalu erat
Seperti bumi memeluk jasad-jasad mati
Mengikat pohon raksasa dengan janji akar
Ia datang menyapa di tiap waktu
Dan tiap waktu itu tak pernah aku tunggu
Tidak pernah pula aku harap
Malah ku ingin ia pergi saja
Seperti daun kering yang gugur satu per satu dari penjaganya
Cepatlah jatuh!
Cepatlah jatuh!
Seiring kudoakan musim gugur hadir selalu
Dan akan pergi setelah sekian lama
Terkadang ia membutakan mata
Seolah matahari terbit dan terbenam tidak menyimpan elok
Hanya kewajaran alam yang tidak perlu dipikirkan
Terkadang pula ia menyumpal kupingku
Solah burung berkicau bukan untuk disenandungkan
Melainkan irama datar lewat begitu saja bersama angin tanpa meninggalkan makna
Terkadang juga ia membungkam mulutku
Seolah melarangku berteriak lepas
Sebab dada sudah sesak dengan rupa-rupa makian
Masa lalu mendekap aku terlalu erat
Seperti bumi memeluk jasad-jasad mati
Seperti pantai yang tak pernah ketinggalan laut
Karawang, 4 Agustus 2002
Antologi Di Juli 2002
Pain in Frame
Jiwa retas digemuruh laku rayu
Dahulu membuai kalbu
Tapi sesaat itu cuma tipu daya
Berpecah-pecah
Berpuing-puing
Manakah yang mampu mengutuhkannya kembali?
Debu-debu sudah berlarian bersama angin
Sebagian hilang terbawa injakan kala
Makin jauh dan jauh lagi
Telaga mimpi berlari-lari menghindar
Karawang, 26 Juli 2002
Sang Waktu
Dan waktu berlari
Menggetarkan daun rontok dari tangkainya
Melingkari bunga-bunga bermekaran
Menciptakan jerami dari rumput-rumput hijau
Ia pun menggiring malam tinggalkan siang
Merubah segala yang disapanya
Putih jadi hitam - hitam mengelabu
Waktu berdiri tegak
Mengantar musim ke musim
Maka angin dan aroma bersilih ganti
Bisakah ia seutuhnya menyirna pedih yang tersembunyi di balik kelambu kelam-pekat?
Karawang, 25 Juli 2009
Jiwa retas digemuruh laku rayu
Dahulu membuai kalbu
Tapi sesaat itu cuma tipu daya
Berpecah-pecah
Berpuing-puing
Manakah yang mampu mengutuhkannya kembali?
Debu-debu sudah berlarian bersama angin
Sebagian hilang terbawa injakan kala
Makin jauh dan jauh lagi
Telaga mimpi berlari-lari menghindar
Karawang, 26 Juli 2002
Sang Waktu
Dan waktu berlari
Menggetarkan daun rontok dari tangkainya
Melingkari bunga-bunga bermekaran
Menciptakan jerami dari rumput-rumput hijau
Ia pun menggiring malam tinggalkan siang
Merubah segala yang disapanya
Putih jadi hitam - hitam mengelabu
Waktu berdiri tegak
Mengantar musim ke musim
Maka angin dan aroma bersilih ganti
Bisakah ia seutuhnya menyirna pedih yang tersembunyi di balik kelambu kelam-pekat?
Karawang, 25 Juli 2009
Antologi Di Juni 2002
Balada Malam
Tujuh purnama sudah bergelut dengan awan
Berebut tempat dan warna
Angin berbisik:
"Sudah hilangkah itu durja?"
Lalang melambai laun menjawab:
"Nampaknya ia masih saja bersemayam dalam hati sang putri"
Awan kelelahan dan membiarkan bulan ke tujuh (semenjak bangkit dari kejatuhan) bergemilang cahaya (namun enggan awan mengalah pada bintang)
Angin membisik lagi:
"Sekarang bagaimana?"
Dan lalang kembali membalas tanya:
"Masih saja begitu"
Malam terheran-heran:
"Bulan tidak bawa senang, tidak pula hapus duka
Lalu ia itu apanya?"
Waktu menyahut:
"Temani sang putri sesenggukan dalam mimpi"
Gg. Nuri-Bandung, 26 Juni 2002
Sewaktu On My Own
Jangan ini diri dibiar sendiri
Tekuri dendam yang dulu waktu beri
Peri membawa perih, nyeri amat!
Manakah badai topan?
Hempas! Hempas aku!
Dan pendar segala lamunan
Kumohon!
Buat sunyi ini jadi bising
Gg. Nuri-Bandung, 20 Juni 2002
Invitation
Bulan, mari mampir ke kamarku!
'Lah lama tiada kita bersenda
Aku kangen
Begitu pula kah dikau, Bulan?
Atau bawakan saja aku nocturno
Biarkan ia mengetuk jendela
Dengan ia aku menemuimu
Lama aku tidak menyapa bintang
Lama pula aku tidak bersajak
Kubuat lari-larik elok
Itu dikau, Sayang!
Ayo!
Kita habiskan ini malam
Bersama-sama
Gg. Nuri-Bandung, 20 Juni 2002
Tujuh purnama sudah bergelut dengan awan
Berebut tempat dan warna
Angin berbisik:
"Sudah hilangkah itu durja?"
Lalang melambai laun menjawab:
"Nampaknya ia masih saja bersemayam dalam hati sang putri"
Awan kelelahan dan membiarkan bulan ke tujuh (semenjak bangkit dari kejatuhan) bergemilang cahaya (namun enggan awan mengalah pada bintang)
Angin membisik lagi:
"Sekarang bagaimana?"
Dan lalang kembali membalas tanya:
"Masih saja begitu"
Malam terheran-heran:
"Bulan tidak bawa senang, tidak pula hapus duka
Lalu ia itu apanya?"
Waktu menyahut:
"Temani sang putri sesenggukan dalam mimpi"
Gg. Nuri-Bandung, 26 Juni 2002
Sewaktu On My Own
Jangan ini diri dibiar sendiri
Tekuri dendam yang dulu waktu beri
Peri membawa perih, nyeri amat!
Manakah badai topan?
Hempas! Hempas aku!
Dan pendar segala lamunan
Kumohon!
Buat sunyi ini jadi bising
Gg. Nuri-Bandung, 20 Juni 2002
Invitation
Bulan, mari mampir ke kamarku!
'Lah lama tiada kita bersenda
Aku kangen
Begitu pula kah dikau, Bulan?
Atau bawakan saja aku nocturno
Biarkan ia mengetuk jendela
Dengan ia aku menemuimu
Lama aku tidak menyapa bintang
Lama pula aku tidak bersajak
Kubuat lari-larik elok
Itu dikau, Sayang!
Ayo!
Kita habiskan ini malam
Bersama-sama
Gg. Nuri-Bandung, 20 Juni 2002
Antologi Di Mei 2002
Bulan Hilang Cayanya
Bulang hilang cayanya diambil kolam di tama
Dihempas gumpalan awan menari-nari
Kau lihatkah itu pedih gelapnya?
Menangis mengadu cuma pada ujung ilalang
Bertanya-tanya:
Ke mana gemilangku pergi?
Karawang, 25 Mei 2002
Bulan Sabit
Antara celah lambai daun
Bisa aku lihat kau, Sayang!
Mengajakku mengayun malam
Diundang juga bintang-bintangmu itu kan?
Biar ramai jadinya
Kita goyang genta di pekuburan sepi
Kita loncengi rumah-rumah lengang
Ayo, Sayang!
Hibur sunyi dikerubung durja
Sebelum ia merebut tempatmu berada
Karawang, 20 Mei 2002
Hidup Itu Seperti Petikan Bunga Mawar, Nak!
Hidup itu seperti petikan bunga mawar, Nak! Kita cuma bisa mengendusnya beberapa jenak dan mahkotanya rekah cuma sekian kala. Lantaran mawar itu mengering busuk tiap helainya dirapuh waktu dimakan balik oleh bumi. Maka jangan harapi ia kekal. Jangan pula digenggam terlalu; kau akan kesakitan, Nak!
Karawang, 15 Mei 2002
Wejangan
:adik-adik tersayang
Mari, Kasih!
Dengar aku punya kata
Kita susut peluh bunda
Dengan kain abdi kita
Jangan segan! Mari kita menunduk hormat
Di lututnya
Mencurah kasih buatnya
Jangan lupa buatkan papa
Segelas teh manis pagi-pagi
Sebelum matahari menjemputnya bernafkah
Pun jika sudah waktunya rehat
Sediakan koran pagi dan secangkir besar susu
Juga roti selai atau telur mata sapi
Sebab kalian telah berakal baligh
Sedang nanti aku pergi kembara:
Mencari baru dunia
Persembahan kepada tercinta bunda dan papa
Hati-hati, Kasih!
Kalau melangkah keluar rumah
Bawa pedoman Qur'an dan hadis
Di dada kalian
Biar tak sesat jadinya
Dan pulang membawa rahmat
Karawang, 4 Mei 2002
Pengap
Nafas ini rasa sesak
Telusur-telusuri celah rongga
Seperti dahaga pada mati:
Di mana ruang aku hidup?
Karawang, 3 Mei 2002
Bulang hilang cayanya diambil kolam di tama
Dihempas gumpalan awan menari-nari
Kau lihatkah itu pedih gelapnya?
Menangis mengadu cuma pada ujung ilalang
Bertanya-tanya:
Ke mana gemilangku pergi?
Karawang, 25 Mei 2002
Bulan Sabit
Antara celah lambai daun
Bisa aku lihat kau, Sayang!
Mengajakku mengayun malam
Diundang juga bintang-bintangmu itu kan?
Biar ramai jadinya
Kita goyang genta di pekuburan sepi
Kita loncengi rumah-rumah lengang
Ayo, Sayang!
Hibur sunyi dikerubung durja
Sebelum ia merebut tempatmu berada
Karawang, 20 Mei 2002
Hidup Itu Seperti Petikan Bunga Mawar, Nak!
Hidup itu seperti petikan bunga mawar, Nak! Kita cuma bisa mengendusnya beberapa jenak dan mahkotanya rekah cuma sekian kala. Lantaran mawar itu mengering busuk tiap helainya dirapuh waktu dimakan balik oleh bumi. Maka jangan harapi ia kekal. Jangan pula digenggam terlalu; kau akan kesakitan, Nak!
Karawang, 15 Mei 2002
Wejangan
:adik-adik tersayang
Mari, Kasih!
Dengar aku punya kata
Kita susut peluh bunda
Dengan kain abdi kita
Jangan segan! Mari kita menunduk hormat
Di lututnya
Mencurah kasih buatnya
Jangan lupa buatkan papa
Segelas teh manis pagi-pagi
Sebelum matahari menjemputnya bernafkah
Pun jika sudah waktunya rehat
Sediakan koran pagi dan secangkir besar susu
Juga roti selai atau telur mata sapi
Sebab kalian telah berakal baligh
Sedang nanti aku pergi kembara:
Mencari baru dunia
Persembahan kepada tercinta bunda dan papa
Hati-hati, Kasih!
Kalau melangkah keluar rumah
Bawa pedoman Qur'an dan hadis
Di dada kalian
Biar tak sesat jadinya
Dan pulang membawa rahmat
Karawang, 4 Mei 2002
Pengap
Nafas ini rasa sesak
Telusur-telusuri celah rongga
Seperti dahaga pada mati:
Di mana ruang aku hidup?
Karawang, 3 Mei 2002
Tuesday, May 19, 2009
Antologi di April 2002
Silhouette
Hai, Jagat Raya!
Dikemanakan tembang yang selalu melagu setiap senja dan malam itu?
Di mana ia bersama murai atau pipit melantun tari-tarian di antara angin
Lalu ditiupkan ke atap rumah yang selalu bisu
Mengetuk-ngetuk pintu
Menghantarkan tarian senyum buat empunya rumah
(dan wajah muram itu berseri-seri kegirangan jadinya)
Wahai, Siapa lagi bisa ditanya?
Tentang tembang yang tiba-tiba lenyap
Tentang kekasih alam menghilang
Tidak tinggalkan bekas
Bikin rindu bukan kepalang!
Karawang, 23 April 2002
Pia Sayang
: Pia
Pia sayang
Bayang belukar itu tidak seperti kelihatannya
Seperti dicucuk jarum
Melukai serangga-serangga
Yang berteduh di bawahnya
Pia sayang
Pelangi sehabis hujan tidak cuma merah hijau kuning
Ada warna-warna lain terselip di antaranya
Dan kedua ujungnya
Tidak menginjak bumi sama sekali
Pia sayang
Mawar merah atau pun putih sama saja
Pada tangkainya berjejal duri-duri kecil
Menghunus kulit memberi rajam
Menyayat tangan-tangan halus
Pia sayang
Gurun pasir nan tandus itu penuh muslihat
Lantaran ia senang menipu mata
Yang sedang lengah
Karawang, 17 April 2002
Rontok
Daun rontok digulir waktu
Dilambai bumi
Kuburkan bekas langkah
Tapak-tapak beribu balada
Dekap bumi!
Karawang, 15 April 2002
Rindu
Ada apa gerangan dengan engkau, wahai Bintang?
Bikin aku merindu seteguh hati
Enyah ragu enyah segan
Tapi siapa pula yang kurindui?
Adakah tresnaku saat ini perhatikanmu
Lalu kami bertemu pandang di dianmu?
Bilakah justru ia ada di sana di antaramu?
Menatapiku dalam-dalam
(yang mana?)
Ataukah
Rindu ini bukan untuk siapa-siapa?
(dengan melihatmu saja, Bintang
bahanalah rasa itu)
Karawang, 15 April 2002
Aral
Tuhan,
Mari kita bersetuju
Matikan aku lusa
Jadi besok aku bisa bertobat dulu
Wahai malaikat,
Lekas larikan aku ke lain dunia
Di mana tiada perlu ku dihembus angin mewangi bangkai lagi
Dan tak ada setan-setan laknat mengikut bayang berjalan
Mari! Mari!
Kita mati sama-sama
Cepat! Cepat!
Lupakan aku di sini
Karawang, 11 April 2002
Aku
Tak perlu mendikte aku
Bagaimana aku seharusnya:
Mawat yang merah itu tentu segan dipoles warna lain
Sebab tak ada satu pun keburukan musti dikamuflase
Dan pada wajahku ini
Adakah kau lihat bentukan-bentukan topeng
Menutup garis-garis muka?
Ataukah mungkin kau mengira ada kelambu gelap di sana?
Namun jawabmu itu, bagiku masa bodoh!
Aku tahu ke mana arah ini pergi
Seperti lebah setelah menenggak madu nektar menjunjung sarangnya
Pun sepasang merpati akan mendekam di rumah mereka setelah berkawin ria
Jadi biarkan saja
Untuk sementara kaki melangkah bebas:
Angin pun di empat penjuru
Toh bertemu pada satu titik
Karawang, 11 April 2002
Pengasingan
Biru bukan biru di kasat mata
Tawa hadir memaksa di sungging bibir
Cemas tiada dirasa lainnya
Gundah gulana meninju ke dalam dada
Ciptakan sekat dimensi
Seorang diri dalam riungan manusia
Sulam waktu dengan jarum tanpa benang
Ke mana diri cengkrama?
Sebab mereka menjarak depa nurani
Digapai pun menjauh semu
Dan ketika jatuh tersungkur
Cuma harapi angin sedia memapah
Tak bisa pada mereka
Pandangi tajam meludah tuba
Karawang, 4 April 2002
Hai, Jagat Raya!
Dikemanakan tembang yang selalu melagu setiap senja dan malam itu?
Di mana ia bersama murai atau pipit melantun tari-tarian di antara angin
Lalu ditiupkan ke atap rumah yang selalu bisu
Mengetuk-ngetuk pintu
Menghantarkan tarian senyum buat empunya rumah
(dan wajah muram itu berseri-seri kegirangan jadinya)
Wahai, Siapa lagi bisa ditanya?
Tentang tembang yang tiba-tiba lenyap
Tentang kekasih alam menghilang
Tidak tinggalkan bekas
Bikin rindu bukan kepalang!
Karawang, 23 April 2002
Pia Sayang
: Pia
Pia sayang
Bayang belukar itu tidak seperti kelihatannya
Seperti dicucuk jarum
Melukai serangga-serangga
Yang berteduh di bawahnya
Pia sayang
Pelangi sehabis hujan tidak cuma merah hijau kuning
Ada warna-warna lain terselip di antaranya
Dan kedua ujungnya
Tidak menginjak bumi sama sekali
Pia sayang
Mawar merah atau pun putih sama saja
Pada tangkainya berjejal duri-duri kecil
Menghunus kulit memberi rajam
Menyayat tangan-tangan halus
Pia sayang
Gurun pasir nan tandus itu penuh muslihat
Lantaran ia senang menipu mata
Yang sedang lengah
Karawang, 17 April 2002
Rontok
Daun rontok digulir waktu
Dilambai bumi
Kuburkan bekas langkah
Tapak-tapak beribu balada
Dekap bumi!
Karawang, 15 April 2002
Rindu
Ada apa gerangan dengan engkau, wahai Bintang?
Bikin aku merindu seteguh hati
Enyah ragu enyah segan
Tapi siapa pula yang kurindui?
Adakah tresnaku saat ini perhatikanmu
Lalu kami bertemu pandang di dianmu?
Bilakah justru ia ada di sana di antaramu?
Menatapiku dalam-dalam
(yang mana?)
Ataukah
Rindu ini bukan untuk siapa-siapa?
(dengan melihatmu saja, Bintang
bahanalah rasa itu)
Karawang, 15 April 2002
Aral
Tuhan,
Mari kita bersetuju
Matikan aku lusa
Jadi besok aku bisa bertobat dulu
Wahai malaikat,
Lekas larikan aku ke lain dunia
Di mana tiada perlu ku dihembus angin mewangi bangkai lagi
Dan tak ada setan-setan laknat mengikut bayang berjalan
Mari! Mari!
Kita mati sama-sama
Cepat! Cepat!
Lupakan aku di sini
Karawang, 11 April 2002
Aku
Tak perlu mendikte aku
Bagaimana aku seharusnya:
Mawat yang merah itu tentu segan dipoles warna lain
Sebab tak ada satu pun keburukan musti dikamuflase
Dan pada wajahku ini
Adakah kau lihat bentukan-bentukan topeng
Menutup garis-garis muka?
Ataukah mungkin kau mengira ada kelambu gelap di sana?
Namun jawabmu itu, bagiku masa bodoh!
Aku tahu ke mana arah ini pergi
Seperti lebah setelah menenggak madu nektar menjunjung sarangnya
Pun sepasang merpati akan mendekam di rumah mereka setelah berkawin ria
Jadi biarkan saja
Untuk sementara kaki melangkah bebas:
Angin pun di empat penjuru
Toh bertemu pada satu titik
Karawang, 11 April 2002
Pengasingan
Biru bukan biru di kasat mata
Tawa hadir memaksa di sungging bibir
Cemas tiada dirasa lainnya
Gundah gulana meninju ke dalam dada
Ciptakan sekat dimensi
Seorang diri dalam riungan manusia
Sulam waktu dengan jarum tanpa benang
Ke mana diri cengkrama?
Sebab mereka menjarak depa nurani
Digapai pun menjauh semu
Dan ketika jatuh tersungkur
Cuma harapi angin sedia memapah
Tak bisa pada mereka
Pandangi tajam meludah tuba
Karawang, 4 April 2002
Antologi di Maret 2002
Aku Mau!
Pada malam melagu
Mendongeng bingar Parijs van Java
Dinaung lukisan separuh bulan tak terhitung bintang
Pada manusia menyemut
Mondar-mandir sana-sini
Sekian masa sebuah rasa membiru kuasai relung
Setelah baru saja selesai mencerna kisah remaja
Seperti ini:
Aku mau! Aku mau!
Seperti dia di sana
Telah menggenggam pujaan hati di kepal tangan
Aku mau! Aku mau!
Dipeluknya
Dibenamnya dalam kekar bahunya
Maka kepadamu entah siapa
Kuharapi kurindui
Lipur dukana aku dalam suci!
Wahai pujangga wahai penyair wahai entahlah
Di luar sana di belahan bumi mana pun
Pasti akan membuketi aku bunga
Pada genggam jemari lalu bercumbu
Suatu waktu nanti dalam suci
Aku mau!
Bandung, 21 Maret 2002
Surat untuk Bulan
Tertanggal Dua Belas Bulan Tiga – Nol Dua
Bisakah sajakku kali ini sampai kepadamu akhir hari ini, Bulan?
Tak kutemui engkau di tempat kita biasa bersua
Kucari-cari barangkali sembunyi di balik dedaunan
Kuperhatikan ujung tiang menjulang
Kau tak bertengger di sana
Kucermati kolam cerminmu
Tak terkaca sedikitpun wajahmu itu
Kutengok-tengoki tiap sudut gelas jendela pada tiap sisi rumahku, di mana pula engkau hari ini, Bulan?
Harap-harap cemas semoga awan berkehendak sampaikan surat tertanggal dua belas bulan tiga padamu:
"Perhatikan aku sesaksama mungkin
Bila perlu kutelanjangi diriku
Sampai engkau lebih dari sekedar melihat dan tahu
Bagaimana rupaku di hadapmu
Lantas beritahu aku bagian mana yang mesti kusempurnakan
Sebesar apakah tambalan yang harus kulekatkan di atas sobekan-sobekan pori kulitku
Bagaimana pula kabar noda hitam dalam belangaku itu?
Bisakah kukuras kukeluarkan noda itu?
Lain daripada itu
Sejelek sehina apakah aku sehingga aku patut dipersembahi yang terburuk
Sebab kurasa aku terlalu berharga untuk demikian adanya
(Iya kan, Bulan?)
Ah, kutunggu segala jawab dan balasmu untuk surat ini
Tapi tolong cepat-cepat ya!
(Aku tak ingin mati lemas karena karena terlalu lama menunggu)"
Tertanda
Aku
Karawang, 12 Maret 2002
Elegi Sikap
Biru rasa hadir di lingkup kamar
Disekat empat sisi rapat-rapat
Entah dari dahulu atau baru saja bertamu
Entah tak terakui atau memang tak ditahui
Kecuali satu
Demi arogan lekuk wajah
Dipasang beratus topeng
Melekat pasti di muka
Menyembunyi sebenar-benar mimpi
Dikatup sekian sandiwara rekaan; Menyombong!
Sesungguhnya
Terlunglai lemah sama sekali
Karawang 9 Maret, 2002
Pada malam melagu
Mendongeng bingar Parijs van Java
Dinaung lukisan separuh bulan tak terhitung bintang
Pada manusia menyemut
Mondar-mandir sana-sini
Sekian masa sebuah rasa membiru kuasai relung
Setelah baru saja selesai mencerna kisah remaja
Seperti ini:
Aku mau! Aku mau!
Seperti dia di sana
Telah menggenggam pujaan hati di kepal tangan
Aku mau! Aku mau!
Dipeluknya
Dibenamnya dalam kekar bahunya
Maka kepadamu entah siapa
Kuharapi kurindui
Lipur dukana aku dalam suci!
Wahai pujangga wahai penyair wahai entahlah
Di luar sana di belahan bumi mana pun
Pasti akan membuketi aku bunga
Pada genggam jemari lalu bercumbu
Suatu waktu nanti dalam suci
Aku mau!
Bandung, 21 Maret 2002
Surat untuk Bulan
Tertanggal Dua Belas Bulan Tiga – Nol Dua
Bisakah sajakku kali ini sampai kepadamu akhir hari ini, Bulan?
Tak kutemui engkau di tempat kita biasa bersua
Kucari-cari barangkali sembunyi di balik dedaunan
Kuperhatikan ujung tiang menjulang
Kau tak bertengger di sana
Kucermati kolam cerminmu
Tak terkaca sedikitpun wajahmu itu
Kutengok-tengoki tiap sudut gelas jendela pada tiap sisi rumahku, di mana pula engkau hari ini, Bulan?
Harap-harap cemas semoga awan berkehendak sampaikan surat tertanggal dua belas bulan tiga padamu:
"Perhatikan aku sesaksama mungkin
Bila perlu kutelanjangi diriku
Sampai engkau lebih dari sekedar melihat dan tahu
Bagaimana rupaku di hadapmu
Lantas beritahu aku bagian mana yang mesti kusempurnakan
Sebesar apakah tambalan yang harus kulekatkan di atas sobekan-sobekan pori kulitku
Bagaimana pula kabar noda hitam dalam belangaku itu?
Bisakah kukuras kukeluarkan noda itu?
Lain daripada itu
Sejelek sehina apakah aku sehingga aku patut dipersembahi yang terburuk
Sebab kurasa aku terlalu berharga untuk demikian adanya
(Iya kan, Bulan?)
Ah, kutunggu segala jawab dan balasmu untuk surat ini
Tapi tolong cepat-cepat ya!
(Aku tak ingin mati lemas karena karena terlalu lama menunggu)"
Tertanda
Aku
Karawang, 12 Maret 2002
Elegi Sikap
Biru rasa hadir di lingkup kamar
Disekat empat sisi rapat-rapat
Entah dari dahulu atau baru saja bertamu
Entah tak terakui atau memang tak ditahui
Kecuali satu
Demi arogan lekuk wajah
Dipasang beratus topeng
Melekat pasti di muka
Menyembunyi sebenar-benar mimpi
Dikatup sekian sandiwara rekaan; Menyombong!
Sesungguhnya
Terlunglai lemah sama sekali
Karawang 9 Maret, 2002
Antologi di Februari 2002
Jelang Kemarau
Kerajaan langit
Kehabisan telaga-telaga air
Biasa ditungganglanggangkan kepada bumi
Mengecam hampir seluruh gersang:
“Hei, Kerontang! Mampuslah kau!
Tergenanglah kalian dalam kuasaku!”
Sesaat!
Tidak sampai seperempat 12 bulan
Ia menyengat menumpah bara yang sempat disembunyi
Si matahari itu membalas waktunya
Memainkan kembali peran
Tercuri awan kemarin-kemarin
Meraja bentangan langit empat penjuru
Di atas khatulistiwa
Dan tiada terluput bah mana pun juga
Kikis habis!
Nanti wajah bumi akan baru lagi:
“Semoga kembalinya aku bukan tamu bawa derita”
Karawang, 28 Februari 2002
Masih Pada Bulan yang Sama
Meski menapaki berupa-rupa jeda waktu
Melakoni ragam lakon pada tiap tajuk baru
Menggores sedikit nama sendiri di tiap tembok dimensi
(pada gang-gang sempit yang terlewati)
Meninggalkan jejak kaki di atas tanah
Menjajaki segala macam rasa baru
Mengecapnya sebentar sebagian kutelan sebagian kumuntahkan lagi
Pada kisah manapun juga
(entah itu eksotis atau bahkan tidak bermakna sekalipun
Bulan pucat pasi itu
Masih tetap bulan yang sama
Karawang, 20 Februari 2002
Fenomena
Bayu-bayu menggiring berita ke sana ke mari – seperti kemarin
Matahari meringkuk malu di balik awan cemburu – seperti biasanya saja
Air-air turun melumat bumi sebasah mungkin – selalu begitu setiap hari
Akan ada yang hilang lalu yang baru mengganti – seharusnya begitu
Seperti daun gugur esoknya berkuncup lagi kena air – wajar bukan?
Seperti perawan patah hati tak lama lagi berbunga-bunga – rata-rata pada begitu
Tapi bagaimana dengan perawan kehilangan intannya?
Yang cuma satu-satunya
Bahkan bayu-bayu itu, matahari, atau air-air sampai kapan pun tak sanggup mencipta intan baru yang sama berharganya.
Intan itu tetap hilang kapan pun semasa bergulirnya kala
Karawang, 17 Februari 2002
Yang Masih Ada
Masih ada jarum tertinggal
Di balik pembuluh kulit
Menggamit luka
Menusuk-nusuk
Dalam-dalam
Merayapi tiap sel darah
(Sial!)
Karawang, 13 Februari 2002
Halaman Pertama
Terima kasih kepada sang masa
Telah menuang ruang bagiku
Sebagai kanvas lukisan rahasia
Di mana terbiasa kugerak jari-jari
Berkuas memindah kelir warna
Kucampur dengan pukauan desah nafas
Kuikutsertakan tenggelam jiwa di dalamnya
Terima kasih kepada yang kuasa masa
Melampirkan lembar-lembar kosong
Untuk kucoret seribu abstrak karyaku
Bahasa yang milikku cuma
Kuasaku membuket tangkai demi tangkai kisah
Pada setiap jenak waktu
Semauku!
Karawang, 9 Februari 2002
Kerajaan langit
Kehabisan telaga-telaga air
Biasa ditungganglanggangkan kepada bumi
Mengecam hampir seluruh gersang:
“Hei, Kerontang! Mampuslah kau!
Tergenanglah kalian dalam kuasaku!”
Sesaat!
Tidak sampai seperempat 12 bulan
Ia menyengat menumpah bara yang sempat disembunyi
Si matahari itu membalas waktunya
Memainkan kembali peran
Tercuri awan kemarin-kemarin
Meraja bentangan langit empat penjuru
Di atas khatulistiwa
Dan tiada terluput bah mana pun juga
Kikis habis!
Nanti wajah bumi akan baru lagi:
“Semoga kembalinya aku bukan tamu bawa derita”
Karawang, 28 Februari 2002
Masih Pada Bulan yang Sama
Meski menapaki berupa-rupa jeda waktu
Melakoni ragam lakon pada tiap tajuk baru
Menggores sedikit nama sendiri di tiap tembok dimensi
(pada gang-gang sempit yang terlewati)
Meninggalkan jejak kaki di atas tanah
Menjajaki segala macam rasa baru
Mengecapnya sebentar sebagian kutelan sebagian kumuntahkan lagi
Pada kisah manapun juga
(entah itu eksotis atau bahkan tidak bermakna sekalipun
Bulan pucat pasi itu
Masih tetap bulan yang sama
Karawang, 20 Februari 2002
Fenomena
Bayu-bayu menggiring berita ke sana ke mari – seperti kemarin
Matahari meringkuk malu di balik awan cemburu – seperti biasanya saja
Air-air turun melumat bumi sebasah mungkin – selalu begitu setiap hari
Akan ada yang hilang lalu yang baru mengganti – seharusnya begitu
Seperti daun gugur esoknya berkuncup lagi kena air – wajar bukan?
Seperti perawan patah hati tak lama lagi berbunga-bunga – rata-rata pada begitu
Tapi bagaimana dengan perawan kehilangan intannya?
Yang cuma satu-satunya
Bahkan bayu-bayu itu, matahari, atau air-air sampai kapan pun tak sanggup mencipta intan baru yang sama berharganya.
Intan itu tetap hilang kapan pun semasa bergulirnya kala
Karawang, 17 Februari 2002
Yang Masih Ada
Masih ada jarum tertinggal
Di balik pembuluh kulit
Menggamit luka
Menusuk-nusuk
Dalam-dalam
Merayapi tiap sel darah
(Sial!)
Karawang, 13 Februari 2002
Halaman Pertama
Terima kasih kepada sang masa
Telah menuang ruang bagiku
Sebagai kanvas lukisan rahasia
Di mana terbiasa kugerak jari-jari
Berkuas memindah kelir warna
Kucampur dengan pukauan desah nafas
Kuikutsertakan tenggelam jiwa di dalamnya
Terima kasih kepada yang kuasa masa
Melampirkan lembar-lembar kosong
Untuk kucoret seribu abstrak karyaku
Bahasa yang milikku cuma
Kuasaku membuket tangkai demi tangkai kisah
Pada setiap jenak waktu
Semauku!
Karawang, 9 Februari 2002
Subscribe to:
Posts (Atom)