Hitam
I
Kalau meredup pula dian dalam apiku
Bara mana yang harus kucari terus-terus?
Tidak boleh satu titik putih hilang begitu saja
Karena membawakan sesat
Nampak tidak berujung
II
Jika aku terus dalam malam
Aku rindu siang!
III
Ah, lagi-lagi tangis!
Aku benci ketika malam terus-menerus memelukku
Tanpa melepaskan lagi
Nafasku tersengal
Lama-lama habis
Lama-lama berhenti
Lama-lama mati?
: ketuklah pintuku, Siangku
Sekarang juga
Aku menunggu
Sampai sebelum kehabisan hidup
Bengkel Lakon, 31 Mei 2003
Aku Cuma Aku
Aku rindu
Ruang waktuku ketika aku melayang-layang
Bebas rayapi tiap sudut yang aku cita
Mendengan gurau burung di angkasa
Bukan dalam sangkar di beranda rumah
Aku rindu nian
Ruang waktuku ketika aku tanpa lelah berlari-lari
Mengejar kekupu dan angin empat arah
Mengagum bunga-bunga 1001 warna di ladang taman
Bukan dalam pot kembang di beranda rumah
Sungguh aku merindu
Ruang waktuku ketika aku tertawa terbahak
Mengenai lagu jenaka di tiap-tiap gang dan jalan
Bukan yang sekedar bertamu di beranda rumah
Aku rindu
Ruangku dulu; tanpa hitam!
Waktuku dulu; tanpa batas!
Ketika aku cuma aku
Bergerak menjadi aku; bukan orang-orang yang dibenci
Melagu kidung aku; bukan milik orang-orang tak dikenal
Ah, sungguh-sungguh aku rindu!
Bengkel Lakon, 19 Mei 2003
Untitled
Jika dzikir mengejar sidrah
Dia-kah dalam hatiku atau aku di peluk-Nya?
Manakala ia tertahan di batang langit karena nafas dunia memburu nafsu, bagaimana kutiup dzikir mencapai langit Raja?
Agar Dia dalam hatiku
Eh
Atau aku di peluk-Nya?
Bandung, 18 Mei 2003
Untitled
Mungkin kau tak tahu
Atau bahkan tak mau tahu
Bahwa kubuatkan larik-larik sajak malam untukmu
Menari-nari mengerlip di langit
Setiap aku rindu
Setiap aku sunyi
Pilu
Barangkali kau hanya lihat langit siang bolong saja?
Bandung, 4 Mei 2003
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment